Oleh : Hindun
Mentari
mulai meninggalkan sore itu, dan akan segera beradu di peraduannya, jam sudah
menunjukkan pukul setengah enam sore, gelisah hatiku tat kala Pak Dosen masi
asyik menguntaikan kata-kata dan menjelaskan beberapa materi pelajaran, semakin
resah perasaanku sore itu, temanku duduknya pun gelisah menatapku penuh harap, sampai
akhirnya Pak Dosen mengakhiri perkuliahannya, dan dengan langkah pesawat gempur aku terus berlalu dari ruang itu…..
Di perempatan
jalan tampak jalan yang berlubang, motor yang kubawa bergerak lamban, suasana
sudah mulai redup, dengan langkah pasti kuteruskan motorku melintasi jalan, seraya berkata pada
sahabatku yang sedari tadi ada diboncengan belakang “Haruskah kita teruskan
perjalanan kita Vid?” Vida menjawab
penuh pasti “Harus kak, kita harus dapatkan anak itu”, begitulah Vida yang
berambisi saat itu, hatiku cemas dan ragu, karena tempat yang hendak kutuju
hanya samar-samar tergambarkan dalam benakku saat itu.
Sampai
akhirnya aku di ujung jalan, jalan berlorong setapak menuju pelantar, karena
rumah yang hendak kutuju adalah di ujung pelantar, delam hatiku berkata ”Sial,
kenapa ada tulisan yang tertera di sana “motor dilarang masuk”, wah
gawat”, mau tidak mau aku parkirkan motorku di ujung
lorong, dengan perasaanku yang bimbang, karena memarkirkan motor itu sendiri di situ, tempat itu sepi, aku takut motorku hilang. Vida dan aku lalu berjalan
menelusuri pelantar, tampak jelas matahari mulai keorenan di ujung laut, karena
jam sudah menunjukkan angka 6, namun tekat Vida dan aku tetap pada tujuan
semula.
Jalanan
lorong palantar lumayan jauh, banyak sepasanga mata dari sisi rumah kiri dan kanan jalan lorong pelantar melihat kami, tentunya dengan
perasaan heran. Sampai pada pertengahan lorong pelantar aku disapa oleh seorang
ibu yang berkulit gelap “ Cari siapa dek?” katanya bertutur sopan,
aku menjawab “Cari rumah teman Bu, namanya Bu
Erna”,
Lalu
ibu itu dengan ramahnya menjawab “ tidak ada namanya Erna di sini”,
Perasaanku
mulai tak menentu, aku pun menjawab pasti “ Ada Bu kalau tak salah di ujung
sana”.
"Ya uda coba aja", kata ibu yang berkulit gelap itu.
"Ya uda coba aja", kata ibu yang berkulit gelap itu.
Sembari
kami berlalu dari hadapan ibu tadi, namun Vida bicara aneh “Kak bisa jadi objek
ibu tadi”, kata Vida. "Apalah nko Vid", kujawab lesu dan geram, karena Vida seolah tidak
hormat pada orang yang mau menegur kami tadi.
Langkah
demi langkah kami terus berjalan, ku lihat Vida terengah-engah
melenggak-melenggok dengan sendal tumitnya, yang tampak lelah karena jalan kaki
yang lumayan jauh. Sampai akhirnya aku di rumah Bu Erna, lega perasaan ku,
karena aku tidak salah ingat dan tidak salah langkah menuju rumah Bu Erna, tapi
bukan rumah Bu Erna sasaran kami, pada Bu Erna kami hanya bertanya rumah anak yang menjadi
target objek kami, layaknya seorang wartawan kesorean. Bu Erna menununjukkan
rumah objek yang akan kami tuju, dengan arahan Bu Erna yang memberikan tanda-tanda rumah di ujuang sana dengan warna rumah
abu-abu dan besar(mewah) itu rumahnya menurut Bu Erna, begitulah Bu Erna memberikan petunjuk
jalan buat kami berdua.
Kami
pun pamit pada Bu Erna untuk mencari alamat buram itu, Vida masi dengan
lenggak-lenggoknya yang gemulai mengitari jalan lorong pelantar, Vida berjalan
lamban "Bak keong saja ", dalam hatiku bergumam. Akhirnya sampai kami di rumah
yang hendak di tuju, "Nah itu Vid rumah anak itu" (sambil menunjukkan rumah mewah
yang berlantai dua, dengan warna diding serba abu-abu), "Duh Vid mana halaman
depannya tu", ucapku pada Vida, Vida menjawab “ jalan aja kak terus, tu kan ada
pintu pagar terbuka”, Vida membenarkan ucapannya, kami pun melangkah mendekati
rumah itu…
Semakin
gelap suasana saat itu, kami memanggil-manggil orang di dalam rumah, sambil mataku liar melihat banyaknya
perlengkapan ritual orang Cina, dan muncullah penghuni rumah dari balik pintu,
ternyata seorang kakek-kakek berketeruanan orang cina, dalam hatiku “Apek-apek
ne”, aku takut sekali mau bertanya pada apek, sedangkan Vida hanya diam saja tak
sedikitpun kata tak terucap dari mulutnya, aku pun meberanikan diri bertanya “benar ini rumah
anak SMP yang sekolahnya di Pinang?”, apek menjawab “mala adaaa, takada oo anak
SMP sini, salah lumah!”, aku kecut dan malu sekali, akhirnya kami permisi, dan
Vida berkata "Mungkin itu Kak rumahnya", Vida membenarkan, kami
pun melangkah ke rumah berikutnya.
Ternyata
rumah sasaran sudah kami temui, dengan mudah kami temukan objek kami, layaknya
wartawan si Vida dan aku bertanya pada objek (anak SMP) tentang keberangkatan
sekolahnya menyebrangi laut. Sudahpun panjang lebar kami bertanya, dengan Pede-nya
Vida menulis semua pengakuan si anak, tiba-tiba ketika kami minta no. HP anak,
si anak tidak punya no. HP, " mama saya yang punya Bu", kata si anak.
"Ya uda mana ibunya biar kami yang bicara sama ibumu", kata kami berdua, panjang lebar aku ceritakan duduk permasalahan dan niat kami berkunjung, ternyata ibu keberatan sekali anaknya kami jadikan objek. Dengan perasaan kesal dan kecewa aku dan Vida berlalu dari rumah itu.
"Ya uda mana ibunya biar kami yang bicara sama ibumu", kata kami berdua, panjang lebar aku ceritakan duduk permasalahan dan niat kami berkunjung, ternyata ibu keberatan sekali anaknya kami jadikan objek. Dengan perasaan kesal dan kecewa aku dan Vida berlalu dari rumah itu.
Tampak
sedih wajah Vida pada waktu itu, lebih-lebih aku, aku kecewa sekali, karena aku tak pernah membayangkan
semua ini bisa terjadi, dengan kesal aku berjalan cepat di hadapan Vida, sedang
Vida masi dengan gaya yang berjalan lamban layaknya pragawati, lantaran
sendal tumit yang dia kenakan, sambil berjalan menuju penghujung pelantar untuk
ke parkiran motor sesekali Vida berkata “Ne lama-lama aku jinjing sajelah
sendal ini” Vida kesal karena lambat jalannya, mungkin karena si sendal tumit yang dikenakannya itu, sangking kesal kami berdua
sendallah yang kami salahkan, sampai juga kami di penghujung pelantar, adzan
Magrib pun sudah beralunan, aku tamba bingung, gelap sudah mulai menyelimuti
suasana sekitarnya, jengkel perasaanku “wu…h capek gini gak dapat apa-apa”,
ungkapku.
“gimana
ne Vid? Kita pulang atau cari objek lain?”, tanyaku pada Vida.
“gak
tau Kak”, Vida menjawab ketus. Sejenak ku berpikir, “Vid aku
ada kenalan ne teman abang, kita tanya dia yuk mungkin dia bisa membantu kita
mencari objek”, kataku pada Vida.
“Lanjut…”
kata Vida.
Sampailah
kami pada rumah yang kami maksudkan, dan ternyata teman abangku itu bisa bantu, diketemukanlah aku
dengan objek itu, "wah bagiku objek ini sangat berguna", dalam hatiku berkata. Bagai tambang
emas saja aku temukan objek tsb, karena sudah larut malam akan sulit mencari objek lain lagi. Waktu itu dengan tekak yang kering , bau keringat
pun menjadi parfum manja buat aku dan Vida. Sampai pada objek, kami sampaikan
maksud kami, layaknya seorang wartawan, kegiatan wawancara berawal kaku, Vida
bingung, loading Vida saat itu lamban, mungkin karena kecapean, dengan sigap ku
acukan pertanyaan demi pertanyaan sekalian mencatat hal penting.
Kegaiatan
wawancara selesai juga, kami segera bergegas pulang karena sudah gelap sekali,
dan membayangkan suasana malam dan sepi sepanjang perjalan pulang nanti, dalam
boncengan Vida berkata” Kak, beli air yuk”, dengan tega akau berkata “Udahlah
Vid da malam ne, nanti saja, jalanan sepi”, itulah yang terkeluar dalam
ucapanku,
“Ya
lah, aku takut ne kak duduk di belakang, gelap dan sepi”, kata Vida cemas.
“Aah…
tak apa-apalah” jawabku meyakinkan Vida,
padahal dalam hatiku berkata “Matilah kalau saja pecah ban”, bagaimana aku tidak
takut, di sepanjang perjalanan tidak ada bengkel, sepi gelap lagi.
"Lamanya
mau sampai", pikirku, sedang Vida terdiam menikmati rasa takutnya, tetapi
aku ajak dia berbicara terus sepanjang jalan yang gelap dan sepi itu, “Vid,
malam Minggu ne “, kataku, “eh ya, lupa Kak, karena aku tidak
meng-idolakan malam Minggu”, Vida berkata sambil tertawa, aku jawab “samalah semua
malam, sama aja laaah “, ucapku. Vida pun berkata “Ya”, dan kami tertawa-tawa berdua sepanjang jalan, Vida menambahkan ucapannya “Malam Jumat aku ingat betol Kak”,
dan dalam pikirankun "duuh… kalau malam Jumat malam ini, seramlah kalau lewat di tempat gelap seperti ini, untung saja mala ini malam Minggu", dalam hatiku berkata.
Dan..... tanpa disadari, akhirnya kami sampai di jalan raya umum, tak ada lagi perasaan takut dan cemas untuk menuju rumahku. HF-12 (29/4)
dan dalam pikirankun "duuh… kalau malam Jumat malam ini, seramlah kalau lewat di tempat gelap seperti ini, untung saja mala ini malam Minggu", dalam hatiku berkata.
Dan..... tanpa disadari, akhirnya kami sampai di jalan raya umum, tak ada lagi perasaan takut dan cemas untuk menuju rumahku. HF-12 (29/4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar