Minggu, 29 April 2012

Berkabut di Ujung Maggrib

                            
 Oleh : Hindun

Mentari mulai meninggalkan sore itu,  dan akan segera beradu di peraduannya, jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, gelisah hatiku tat kala Pak Dosen masi asyik menguntaikan kata-kata dan menjelaskan beberapa materi pelajaran, semakin resah perasaanku sore itu, temanku duduknya pun gelisah menatapku penuh harap, sampai akhirnya Pak Dosen mengakhiri perkuliahannya, dan dengan langkah pesawat gempur aku terus  berlalu dari ruang itu…..

Di perempatan jalan tampak jalan yang berlubang, motor yang kubawa bergerak lamban, suasana sudah mulai redup, dengan langkah pasti kuteruskan motorku melintasi jalan, seraya berkata pada sahabatku yang sedari tadi ada diboncengan belakang “Haruskah kita teruskan perjalanan kita Vid?”   Vida menjawab penuh pasti “Harus kak, kita harus dapatkan anak itu”, begitulah Vida yang berambisi saat itu, hatiku cemas dan ragu, karena tempat yang hendak kutuju hanya samar-samar tergambarkan dalam benakku saat itu.

Sampai akhirnya aku di ujung jalan, jalan berlorong setapak menuju pelantar, karena rumah yang hendak kutuju adalah di ujung pelantar, delam hatiku berkata ”Sial, kenapa ada tulisan yang tertera di sana “motor dilarang masuk”, wah gawat”,   mau tidak mau aku parkirkan motorku di ujung lorong, dengan perasaanku yang bimbang, karena memarkirkan motor itu sendiri di situ, tempat itu sepi, aku takut motorku hilang. Vida dan aku lalu berjalan menelusuri pelantar, tampak jelas matahari mulai keorenan di ujung laut, karena jam sudah menunjukkan angka 6, namun tekat Vida dan aku tetap pada tujuan semula.

Jalanan lorong palantar lumayan jauh, banyak sepasanga mata dari sisi rumah kiri dan kanan jalan lorong pelantar melihat kami, tentunya dengan perasaan heran. Sampai pada pertengahan lorong pelantar aku disapa oleh seorang ibu yang berkulit gelap “ Cari siapa dek?” katanya bertutur sopan,
 aku menjawab “Cari rumah teman Bu, namanya Bu Erna”,
Lalu ibu itu dengan ramahnya menjawab “ tidak ada namanya Erna di sini”,
Perasaanku mulai tak menentu, aku pun menjawab pasti “ Ada Bu kalau tak salah di ujung sana”. 
"Ya uda coba aja",  kata ibu yang berkulit gelap itu.
Sembari kami berlalu dari hadapan ibu tadi, namun Vida bicara aneh “Kak bisa jadi objek ibu tadi”, kata Vida. "Apalah nko Vid",  kujawab lesu dan geram, karena Vida seolah tidak hormat pada orang yang mau menegur kami tadi.

Langkah demi langkah kami terus berjalan, ku lihat Vida terengah-engah melenggak-melenggok dengan sendal tumitnya, yang tampak lelah karena jalan kaki yang lumayan jauh. Sampai akhirnya aku di rumah Bu Erna, lega perasaan ku, karena aku tidak salah ingat dan tidak salah langkah menuju rumah Bu Erna, tapi bukan rumah Bu Erna sasaran kami, pada Bu Erna kami hanya bertanya rumah anak yang menjadi target objek kami, layaknya seorang wartawan kesorean. Bu Erna menununjukkan rumah objek yang akan kami tuju, dengan arahan Bu Erna yang memberikan  tanda-tanda  rumah di ujuang sana dengan warna rumah abu-abu dan besar(mewah) itu rumahnya menurut Bu Erna, begitulah Bu Erna memberikan petunjuk jalan buat kami berdua.

Kami pun pamit pada Bu Erna untuk mencari alamat buram itu, Vida masi dengan lenggak-lenggoknya yang gemulai mengitari jalan lorong pelantar, Vida berjalan lamban "Bak keong saja ", dalam hatiku bergumam. Akhirnya sampai kami di rumah yang hendak di tuju, "Nah itu Vid rumah anak itu" (sambil menunjukkan rumah mewah yang berlantai dua, dengan warna diding serba abu-abu), "Duh Vid mana halaman depannya tu", ucapku pada Vida, Vida menjawab “ jalan aja kak terus, tu kan ada pintu pagar terbuka”, Vida membenarkan ucapannya, kami pun melangkah mendekati rumah itu…

Semakin gelap suasana saat itu, kami memanggil-manggil orang di dalam rumah,  sambil mataku liar melihat banyaknya perlengkapan ritual orang Cina, dan muncullah penghuni rumah dari balik pintu, ternyata seorang kakek-kakek berketeruanan orang cina, dalam hatiku “Apek-apek ne”, aku takut sekali mau bertanya pada apek, sedangkan Vida hanya diam saja tak sedikitpun kata tak terucap dari mulutnya, aku pun meberanikan diri bertanya “benar ini rumah anak SMP yang sekolahnya di Pinang?”, apek menjawab “mala adaaa, takada oo anak SMP sini, salah lumah!”, aku kecut dan malu sekali, akhirnya kami permisi, dan Vida berkata "Mungkin itu Kak rumahnya", Vida membenarkan,  kami pun melangkah ke rumah berikutnya.

Ternyata rumah sasaran sudah kami temui, dengan mudah kami temukan objek kami, layaknya wartawan si Vida dan aku bertanya pada objek (anak SMP) tentang keberangkatan sekolahnya menyebrangi laut.  Sudahpun panjang lebar kami bertanya, dengan Pede-nya Vida menulis semua pengakuan si anak, tiba-tiba ketika kami minta no. HP anak, si anak tidak punya no. HP, " mama saya yang punya Bu",  kata si anak. 
"Ya uda mana ibunya biar kami yang bicara sama ibumu",  kata kami berdua, panjang lebar aku ceritakan duduk permasalahan dan niat kami berkunjung, ternyata ibu keberatan sekali anaknya kami jadikan objek. Dengan perasaan kesal dan kecewa aku dan Vida berlalu dari rumah itu.

Tampak sedih wajah Vida pada waktu itu, lebih-lebih aku, aku  kecewa sekali, karena aku tak pernah membayangkan semua ini bisa terjadi, dengan kesal aku berjalan cepat di hadapan Vida, sedang Vida masi dengan gaya yang berjalan lamban layaknya  pragawati, lantaran sendal tumit yang dia kenakan, sambil berjalan menuju penghujung pelantar untuk ke parkiran motor sesekali Vida berkata “Ne lama-lama aku jinjing sajelah sendal ini” Vida kesal karena lambat jalannya, mungkin  karena si sendal tumit yang dikenakannya itu, sangking kesal kami berdua  sendallah  yang kami salahkan, sampai juga kami di penghujung pelantar, adzan Magrib pun sudah beralunan, aku tamba bingung, gelap sudah mulai menyelimuti suasana sekitarnya, jengkel perasaanku “wu…h capek gini gak dapat apa-apa”, ungkapku.
“gimana ne Vid? Kita pulang atau cari objek lain?”, tanyaku pada Vida.
“gak tau Kak”, Vida menjawab ketus. Sejenak ku berpikir,  “Vid aku ada kenalan ne teman abang, kita tanya dia yuk mungkin dia bisa membantu kita mencari objek”, kataku pada Vida.
“Lanjut…” kata Vida.

Sampailah kami pada rumah yang kami maksudkan, dan ternyata teman abangku itu bisa bantu, diketemukanlah aku dengan objek itu, "wah bagiku objek ini sangat berguna", dalam hatiku berkata. Bagai tambang emas saja aku temukan objek tsb, karena sudah larut malam akan sulit mencari objek lain lagi. Waktu itu dengan tekak yang kering , bau keringat pun menjadi parfum manja buat aku dan Vida. Sampai pada objek, kami sampaikan maksud kami, layaknya seorang wartawan, kegiatan wawancara berawal kaku, Vida bingung, loading Vida saat itu lamban, mungkin karena kecapean, dengan sigap ku acukan pertanyaan demi pertanyaan sekalian mencatat hal penting.

Kegaiatan wawancara selesai juga, kami segera bergegas pulang karena sudah gelap sekali, dan membayangkan suasana malam dan sepi sepanjang perjalan pulang nanti, dalam boncengan Vida berkata” Kak, beli air yuk”, dengan tega akau berkata “Udahlah Vid da malam ne, nanti saja, jalanan sepi”, itulah yang terkeluar dalam ucapanku,
“Ya lah, aku takut ne kak duduk di belakang, gelap dan sepi”, kata Vida cemas.
“Aah… tak apa-apalah”  jawabku meyakinkan Vida, padahal dalam hatiku berkata “Matilah kalau saja pecah ban”, bagaimana aku tidak takut, di sepanjang perjalanan tidak ada bengkel, sepi gelap lagi.

"Lamanya mau sampai", pikirku, sedang Vida terdiam menikmati rasa takutnya, tetapi aku ajak dia berbicara terus sepanjang jalan yang gelap dan sepi itu, “Vid, malam Minggu ne “, kataku, “eh ya, lupa Kak, karena aku tidak meng-idolakan malam Minggu”, Vida berkata sambil tertawa, aku jawab “samalah semua malam, sama aja laaah “, ucapku. Vida pun berkata “Ya”, dan kami tertawa-tawa berdua sepanjang jalan, Vida menambahkan ucapannya “Malam Jumat aku ingat betol Kak”,
dan dalam pikirankun "duuh…  kalau  malam Jumat malam ini, seramlah kalau lewat di tempat gelap seperti ini, untung saja mala ini malam Minggu", dalam hatiku berkata.
Dan..... tanpa disadari, akhirnya kami sampai di jalan raya umum, tak ada lagi perasaan takut dan cemas untuk menuju rumahku.  HF-12 (29/4)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar